Akhirnya, Ujian Komprehensif

“Kapan Mas Wisnu maju kompre?” tanya beberapa kolega dan staf akademik di kampus.

“Doakan saja, Bu. Insyaallah habis ini maju kok, masih nunggu revisian,” jawabku sambil menutup pintu laboratorium.

Aku masih ingat betul kejadian itu terjadi sekitar bulan Mei. Sekarang sudah bulan Oktober—ya, lima bulan berlalu. Setelah melewati berbagai drama dan proses panjang, akhirnya kemarin aku resmi mengikuti ujian komprehensif S3.

Teman-temanku sebenarnya sudah lebih dulu ujian. Dari enam mahasiswa di angkatan yang sama, separuhnya sudah melewati tahap ini. FYI, ujian komprehensif S3 itu semacam ujian proposal penelitian disertasi. Setelah lulus, status mahasiswa berubah dari mahasiswa pascasarjana menjadi calon doktor atau promovendus.

Setelah berpisah dari Apsara, aku sadar hidup harus terus berjalan. Aku tetap harus melanjutkan mimpi-mimpiku—menyelesaikan studi S3, pergi ke Jepang, menjadi dosen, dan banyak lagi cita-cita lain yang menunggu diwujudkan.

Minggu lalu, tepatnya Rabu, 22 Oktober 2025, aku menjalani ujian komprehensif. Enam dosen berhadapan dengan satu mahasiswa—aku. Begitulah kira-kira nanti suasana sidang akhir, hanya saja akan ada tambahan penguji dari luar.

Selasa malam sebelumnya, aku berangkat dari rumah di tengah guyuran hujan yang tak kunjung reda sejak siang. Aku sengaja berangkat lebih awal karena takut terburu-buru kalau berangkat di hari H. Namun sesampainya di kos, bukannya belajar, aku malah tertidur.

Keesokan harinya, aku tiba di kampus lebih awal. Ujian dijadwalkan mulai pukul delapan pagi. Sehari sebelumnya, pihak akademik sudah berpesan agar aku mengambil kunci laboratorium komputer tempat ujian berlangsung. Setelah semua siap, waktu menunjukkan pukul 08.05. Anehnya, belum ada satu pun dosen yang datang. Aku mencoba berpikir positif—mungkin saja molor sedikit, namanya juga Indonesia.

Beberapa menit kemudian, para dosen mulai berdatangan. Aku menyambut mereka dengan senyum gugup, dan ujian pun dimulai.

Aku mempresentasikan rencana penelitian disertasi selama sekitar dua puluh menit, lalu dilanjutkan sesi tanya jawab dan masukan dari para dosen. Rasanya... cukup menegangkan. Namun alhamdulillah, semuanya berjalan lancar tanpa drama berarti. Setelah hampir dua jam, waktu habis. Aku diminta keluar ruangan sementara para dosen berdiskusi menentukan hasil ujian—lulus, atau tidak.

Beberapa menit kemudian aku dipanggil masuk kembali. Tibalah saat pengumuman.
Jreng... Jreng...
Aku dinyatakan lulus dengan revisi.

Alhamdulillah. Kini aku resmi menyandang status calon doktor.



Aku masih ingat beberapa tahun lalu, ketika mengikuti seleksi pamong di SMA TN. Salah satu penguji di sana sempat berkata kepada muridnya sambil melirik ke arahku, “Lihat itu… calon doktor, tapi nggak bisa masang alat destilasi uap,” katanya dengan nada merendahkan.

Aku masih ingat jelas wajahnya. Wajar, waktu itu aku sudah lama tak berurusan dengan alat laboratorium, dan malam sebelumnya aku juga tidak belajar. Jadi ya, pantas saja kalau aku lupa cara memasang alat destilasi uap. Saat kuliah pun, aku hanya sekali menggunakannya—itu pun saat praktikum. Aku lebih sering memakai alat soklet.



Tapi kini, aku justru berterima kasih pada bapak itu. Ucapannya—yang dulu terasa seperti ejekan—ternyata menjadi doa. Mungkin kalau suatu hari kami berjumpa lagi, aku akan mengucapkan satu hal sederhana:
Terima kasih.

Comments