Yogyakarta, 31 Mei 2025
Mei 2025. Bulan yang terasa istimewa bagiku. Bukan hanya karena bulan ini adalah bulan ulang tahunku, tapi juga karena Apsara lahir di bulan yang sama—hanya berselang satu hari denganku. Dan lebih dari itu, bulan ini juga menjadi bulan jadianku dengan Apsara. Tak terasa, sudah genap setahun kami menjalin hubungan. Tapi, bukannya bahagia yang kudapat, justru luka yang kembali hadir. Seperti sebelas tahun lalu, saat aku harus berpisah dengan seseorang yang kucintai sejak bangku sekolah. Mungkin inilah takdir yang harus aku jalani.
Sudah hampir sebulan aku tak bertemu Apsara. Terakhir kami bertemu di akhir April. Setelah itu, Apsara selalu menolak untuk bertemu dengan berbagai alasan. Aku mencoba berpikir positif: mungkin dia sibuk, lelah bekerja, atau memang sedang banyak beban. Tapi hatiku tahu, itu bukan alasan sebenarnya. Dia hanya sudah tak tertarik lagi padaku, meski status kami masih sebagai sepasang kekasih.
Selama setahun ini, aku berjuang sendiri untuk membuatnya percaya pada cintaku. Tapi hasilnya nihil. Aku merasa seperti badut, menghibur tanpa pernah benar-benar dianggap.
Di awal Mei, aku bertekad: ini akan jadi usaha terakhirku untuk Apsara. Aku ingin menunjukkan keseriusanku dengan memberinya kejutan ulang tahun. Tapi entah kenapa, aku mulai merasakan firasat bahwa kami akan kembali menjadi dua orang asing.
Bulan sebelumnya, Apsara masih semangat membalas pesanku. Tapi tidak di bulan ini. Selama Mei, aku seperti ditinggalkan. Sunyi. Sendiri. Dan mulai bertanya-tanya, “Masihkah dia ingin bersamaku?” Hingga enam hari sebelum ulang tahunnya, aku memutuskan salat istikharah. Doaku sederhana: “Ya Allah, jika memang aku harus terus berjuang untuk Apsara, kuatkanlah. Tapi jika aku harus berhenti, berilah aku petunjuk.”
Doa itu seperti langsung dijawab.
Malam Minggu itu, Apsara tiba-tiba mengunggah story Instagram. Sebuah foto bersama tiga laki-laki. Padahal sebelumnya, saat kutanya tentang rencananya hari itu, dia hanya menjawab singkat bahwa dia akan pergi ke Kopi Klotok. Aku mengira dia ingin healing bersama teman-teman. Tapi malam itu aku terdiam. Kaget. Karena selama setahun bersama, Apsara tak pernah sekalipun mengunggah fotoku. Seolah dia menjaga perasaan seseorang yang bukan aku. Dan yang lebih membuatku terluka, salah satu laki-laki di foto itu adalah mantan kekasihnya. Aku hafal wajahnya. Dia duduk tepat di samping Apsara.
Hatiku hancur.
Ini bukan pertama kalinya Apsara mengunggah story bersama "orang lama". Seperti yang pernah kutulis dulu: orang lama sepertinya memang selalu punya tempat di hatinya. Dan mungkin, selalu jadi pemenangnya.
Aku pura-pura tak tahu. Aku tetap mengirim pesan seperti biasa, meski balasannya semakin lama, kering, dan terasa enggan. Kadang baru dibalas 24 jam atau lebih. Aku tahu, ini bukan soal kesibukan. Ini soal prioritas.
Lalu alam seperti ikut berbicara. Di Instagram, tiba-tiba muncul rekomendasi akun. Mutual-nya hanya satu: Apsara. Penasaran, aku buka. Akunnya tidak dikunci. Di sana, ada sebuah foto: empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan, berpose di titik nol Yogyakarta. Salah satunya Apsara, berdiri di samping mantannya. Mereka tampak seperti sedang double date.
Aku runtuh.
Kalimat “Aku nggak klik sama kamu,” yang pernah dia ucapkan padaku, ternyata tak sepedih melihat foto itu. Apalagi saat kutemukan komentar Apsara berupa emoji hati. Semuanya jadi jelas. Dia masih menyayangi mantannya. Aku patah. Tapi tetap berpura-pura tak terjadi apa-apa.
Aku tak ingin merusak ulang tahunnya yang tinggal hitungan jam. Tapi sikapnya tetap dingin. Tak sekalipun dia cerita soal pertemuan itu. Dari unggahan yang kulihat, mereka bertemu dua hari di Jogja.
Malamnya, rencanaku sederhana: makan malam di SS, lalu ke pameran seni, dan akhirnya merayakan ulang tahunnya. Tapi semuanya jauh dari harapan.
Saat kutjemput, Apsara terlihat dingin. Sepanjang jalan dia hanya diam, seperti menahan marah. Aku berusaha mencairkan suasana, tapi percuma. Aku seperti sedang monolog dalam podcast pribadi.
Di Taman Budaya, kami melihat pameran lukisan anak-anak disabilitas. Apsara tetap diam. Lalu kami makan malam di tempat lain. Di sanalah aku semakin hancur—Apsara sibuk bermain ponsel. Tak pernah seperti itu sebelumnya. Tapi aku tetap pura-pura tenang.
Selesai makan, aku mengajaknya ke minimarket dekat kosnya. Di sanalah aku ingin memberikan kuenya.
Aku mengambil kue dari bagasi motor, menyalakan lilin, dan menyodorkannya. Untuk pertama kalinya malam itu, Apsara tersenyum—kecil, palsu. Tapi tetap senyum. Dia meniup lilin, membuat permohonan. Lalu aku pamit pulang.
Tepat jam 1 pagi, aku mengucapkan ulang tahun padanya. Pesanku baru dibalas delapan jam kemudian. Tak lama, dia mengunggah story WA: foto nasi kuning dengan lilin dan caption: “Salah satu gift paling berharga adalah effort mereka.”
Saat itulah aku sadar, Apsara sudah benar-benar pergi. Dia belum selesai dengan masa lalunya. Pertemuan mereka di Jogja jadi penegas bahwa aku harus melepas.
Hari ulang tahunku, aku berniat pergi ke psikolog. Hatiku kacau. Tapi antrian panjang membuatku pulang. Aku hanya bisa menangis, curhat lewat telepon ke sahabatku di Bekasi.
Apsara, terima kasih karena sudah hadir di hidupku. Jika kamu membaca ini, artinya aku sedang belajar mengikhlaskanmu. Kenangan ke Bojonegoro, makan bersama, main ke rumahmu—semuanya kini jadi mimpi yang harus kulepaskan. Tenagaku habis.
Seminggu ini aku tak menghubungimu. Dan kamu pun tak mencariku. Itu cukup jadi tanda. Aku harus pergi. Semoga kamu bahagia.
Selamat. Kamu telah kehilangan seseorang yang mencintaimu dengan tulus selama setahun. Aku tak akan mengejarmu lagi.
Lewat tulisan ini, aku luapkan semua yang tak bisa kusampaikan langsung. Terima kasih untuk hadiah ulang tahun yang kamu beri: patah hati dan luka.
Tapi aku percaya, Tuhan tak pernah tidur. Jika kamu masih ingin memperjuangkan, aku akan bertahan. Tapi jika kamu memilih melepaskan, aku pun takkan menoleh ke belakang.
Aku bisa menerima kekuranganmu. Sayangnya, kamu tak bisa menerima keadaanku.
Terima kasih, T.R.G. Aku tidak membencimu. Perasaanku masih sama. Tapi aku memilih mundur. Mencari hati yang bisa menghargai kehadiranku.