“Mas… nanti kalau
diterima di sini, kamu harus keluar dari bimbel yang sekarang.”
“…” gue menganggukan
kepala.
“Enggak boleh ada
dualisme bimbel Mas. Kalau privat masih diperbolehkan, tapi kalau bimbel, kamu
harus memilih salah satu.”
“…”
Gue masih inget banget ucapan ibu-ibu bimbel yang mewawancari gue dan menguji microteaching di hari Senin lalu. Setelah gue dinyatakan gagal menerima beasiswa seperti yang udah gue ceritakan sebelumnya, gue pun memasukan lamaran kerja ke sebuah bimbingan belajar yang cukup ternama dan keesokan harinya gue dipanggil buat interview. Gue juga baru dapat kabar dari penyelenggara beasiswa alasan kenapa gue gagal dapet beasiswa. Nilai akhir gue nggak memenuhi passing grade. Passing grade 875, sedangkan skor gue cuman 689.33. Hmm… tahun depan dicoba lagi deh.
Saat interview, gue nggak
banyak ditanyai hal-hal aneh kayak motivasi melamar, dan tes tertulis lainya.
Gue cuman disuruh praktik mengajar dadakan. Tanpa menunggu waktu yang lama, gue
dinyatakan diterima dan sedang dalam proses pengajuan oleh lembaga dan nunggu tanda tangan kontrak.
Gue jadi inget setahun lalu saat gue melamar menjadi tentor di tempat kerja gue
saat ini. Tanpa tes, tanpa perlu wawancara njlimet, dan tiba-tiba langsung
diterima.
Nggak terasa udah setahun
gue kerja jadi tentor di sini. Balik lagi ke cerita. Mau nggak mau gue harus
melepas bimbel yang udah nemenin gue setahun ini. Tadi sore saat gue lagi
ngajar salah satu murid gue, dalam hati gue bilang,
“Wah… kasin banget kalau
gue harus ningalin mereka. Padahal beberapa minggu lagi mereka PAS, atau penilain
akhir semester.”
“Kalau gue mendadak keluar,
gimana nasib mereka?”
“Jangan jangan mereka
bakalan jadi anak punk.”
“…”
Jujur aja, gue punya
tanggung jawab moral ngajarin mereka hingga menjelang tes semesteran.Ya
meskipun gue kadang kesel sama mereka yang seenak jidat mereka. Tiba-tiba bolos
les, tiba-tiba medadak hilang.
Apa gara-gara gue kerja
pake hati ya? Gaji mengajar mereka juga kecil, udah gue zoom tetep aja kecil. Jarak
20 kiloan gue tempuh, banjir dan hujan deras selalu gue terjang, berangkat sore
pulang malam pun udah biasa buat gue biar mereka paham materi. Adik bukan, keponakan
juga bukan, tapi ya tetep aja gue khawatir sama mereka.
Ibarat dua sisi koin, gue
juga harus berkembang dan di sisi yang lain gue belum bisa ninggalin murid gue
sampe semesteran. Sampe hari ini gue belum ngomong ke tempat kerja gue kalau
gue mau keluar. Nggak enak mau bilang saat ini, tapi gue tetap harus ngomong.
Saat masuk gue udah permisi, saat keluar gue pun harus pamitan. Itu yang
namanya adab.