Diabetes Telah Mengubah Hidup gue



Hmm.. lama banget gue enggak ngurusin blog ini. Bahkan gue lupa kalau masih punya blog ini. Maaf banget, gue udah jarang nulis di blog, update youtube, dan nulis buku ketiga gue. Karena kesibukan gue di dunia nyata, tepatnya sok sibuk, jadi semuanya terbengkalai.

Pada tulisan ini, gue mau berbagi cerita aja tentang apa yang baru aja gue alamin beberapa bulan terakhir ini. Beberapa bulan lalu, tepatnya setelah gue test TOEFL, badan gue enggak enak. Nafas gue kayak sesak dan terasa berat. Gue menduga penyebab nafas gue yang berat ini karena berat badan gue yang udah over. Berat badan gue menyampai angka 74,2 kg. Ya, ini adalah rekor berat badan yang pernah gue alamin.


Dua tahun lalu, berat badan gue juga pernah mencapai 74 kg, tapi karena kala itu lagi puasa ramadhan, berat badan gue bisa turun jadi 64 Kg. Tapi, pada puasa tahun ini berat badan gue masih tetap dan cenderung naik membuat gue berfikir,

“Pasti ada yang salah sama gue.”

Udah hampir sebulan, gue ngalamin nafas yang enggak plong. Badan dan perasaan gue enggak enak. Rasanya ada perasaan yang menggajal dan bergejolak di dalam dada gue. Rasanya gue pengen marah, tapi enggak bisa keluar. Akhirnya gue memutuskan untuk diet. Tapi, gue enggak mau diet sembarangan. Singkat cerita, gue nyari dokter spesialis gizi. Sayangnya, di tempat gue, enggak ada dokter spesialis gizi. Mau nyari di Jogja, gue agak ragu karena kondisi pandemi juga belum sepenuhnya hilang. Setelah nanya-nanya teman dokter, gue dapat informasi kalau di Magelang ada dokter spesialis gizi, tapi statusnya masih otewe spesialis. Akhirnya dengan penuh kemantapan, gue ke dokter ini. Ya sebut saja namanya dokter Juni di Rumah Sakit Ibu dan Anak Gladiol Magelang.


Saat berkonsultasi kepada dokter Juni, gue menyampaikan keluhan gue kayak nafas berat, berat badan yang naik secara drastis. Pada pertemuan pertama, dokter Juni menyuruh gue untuk medical check up kayak gula, lemak, hormon tiroksin, ginjal, liver. Selain itu, agar gue enggak pulang dengan tangan kosong, dokter Juni memberikan rekomendasi diet dan pola hidup untuk gue, kayak pola makan, dan pola olahraga. Dua mingu lagi, gue disuruh balik lagi ke beliau dengan hasil lab yang diminta.



Gue pun check up dan hasilnya cukup mengagetkan. Bahkan lebih mengagetkan daripada melihat bang Ipul keluar dari penjara. Dari hasil pemeriksaan lab, semua hasil masih normal kecuali nilai HbA1c atau indikasi kadar gula gue. FYI, HbA1c adalah kondisi gula darah yang tidak terpengaruh waktu saat ini. HbA1c menunjukan gambaran polah hidup selama 3-4 bulan terakhir ini. Nilai HbA1c gue menunjukan angka 13, dimana itu adalah menunjukan kalau gue kena diabetes melitus.


Tapi memang pola hidup gue selama 3 bulan terakhir ini emang rusak. Saat puasa kemarin gue sering banget makan minuman manis berboba. Gue juga demen banget minum teh botol ditambah lagi gue enggak pernah olahraga semenjak pandemi ini. Biasanya, saat sebelum pandemi menyerang, gue selalu renang. Tapi sekarang kolam renang tutup jadi gue enggak bisa olahraga.


Gue sempet down, rasanya dunia mendadak jadi gelap. Setelah diselidiki, ternyata emang lagi mati lampu. XIXIXI

“Kok gue kena DM?”

“Padahal gue enggak ada keturunan diabetes.”

“Pasti ada yang salah sama pemeriksaan lab.”

“…”


Hati gue makin gelisah, ditambah setelah mendengar berita kalau murid nyokap meninggal karena diabetes dan komplikasi di usia 30 tahun. Akhirnya gue cuman bisa pasrah dan bertemu dokter Juni.

Tibalah hari konsultasi dengan dokter Juni.

“Gimana mas… ada perubahan?”

“Hmm… ada dok…, ini hasil lab kemarin.” Kata gue sambil menyerahkan amplop hijau berisi hasil MCU.

“Gimana hasilnya mas?”

“HbA1c saya tinggi banget Dok..”

“…”

Setelah dokter membaca, dokter cuman tersenyum.

“Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada mas Wisnu karena telah berhasil turun 2kg dalam waktu 2 minggu. Ada kabar baik untuk mas Wisnu bahwa kondisi ginjal, dan liver mas masih baik.”

“Iya dok…”

“Tapi… ada kabar buruk. Ini nilai HbA1C mas Wisnu sangat tinggi. Kemarin ada pasien saya yang nilai HbA1c 6, ini udah masuk pra-diabetes dan mas Wisnu 12,4. Ini udah diabetes melitus tipe II.”

“Terus gimana Dok?”

“Mas Wisnu jangan khawatir. Jangan sampai gara-gara 1 indikator, bisa membuat hasil lab yang lain jadi buruk. Diabetes masih bisa ditangani dan diatur. Dosen saya usia 65 tahun juga masih hidup mas meskipun kena diabetes.”

“…” (*JDUERR)

“Kalau untuk masalah ini biar saya rekomendasikan ke rekan saya saja mas yang ahli sub endokrin. Nanti saya buatkan surat kepada beliau. Tapi kalau mas belum siap, ya tidak apa-apa.”

“Saya belum siap dok. Saya boleh cek ulang lagi? Siapa tau ada kesalahan dok.”

“Boleh mas.”

“Owh iya, saya kasih suplemen aja gimana? Sumplemen minyak ikan. Ini bukan obat, tapi semoga bisa membawa perubahan mas.”

“…”

Singkat cerita, dua minggu lagi gue disuruh balik lagi ke rumah sakit dan gue diperbolehkan cek gula lagi.

Gue pulang dan selama dua minggu gue rajin olah raga seperti biasa, makan seperti rekomendasi dokter Juni, ngemil pare rebus dan mengkonsumsi suplemen minyak ikan sehari 2 kali. Setelah 2 minggu berlalu, gue cek darah lagi. Tapi kali ini yang gue cek cuman gula aja seperti gula puasa, gula setelah 2 jam makan, dan HbA1c.

Hasilnya: JRENG…JRENG…



Gula darah gue berhasil normal lagi mejadi 5,2. Bayangin, HbA1C dari 12,4 menjadi 5,2 dalam 2 minggu. Alhamdulillah, itulah yang gue ucapkan terus menerus. Berarti tubuh gue masih mau merespon dan kembali normal.

Setelah 2 minggu, gue bertemu dokter Juni lagi. Beliau cukup kaget dan senang setelah tahu kalau gula HbA1C gue udah normal lagi. Jadi gue enggak perlu bertemu dokter sub endokrin dan menonsumsi insulin. Berat badan gue juga berhasil turun 4 kilo dalam waktu 1 bulan.

Pelajaran yang gue dapat banyak banget. Gue yang dulunya males olahraga, kini jadi rajin olahraga seminggu 5 kali selama setengah jam. Ya meskipun olahraganya cuman jalan kaki muterin lapangan. Gue juga jadi makan teratur. Biasanya gue makan sehari cuman 2 kali, kini gue makan 3 kali. Hal baru yang gue dapet setelah kejadian ini adalah sekarang gue jadi doyan pare. Dulu, gue enggak doyan pare, bahkan belum pernah makan pare. Pare itu pahit, enggak enak. Tapi sekarang, gue jadi doyan pare. Pare yang dulunya pahit kini rasanya jadi biasa aja. Iya, ternyata ada yang lebih pahit dari pare, iya sikap dan kelakuan dia yang lebih pahit dari pare.

Mungkin cukup ini tulisan gue. Semoga kalian yang membaca tulisan ini menjadi lebih peduli dengan kesehatan. Biasakan pola hidup sehat, rajin olah raga dan yang paling penting,jangan stress. Kalian yang sedang berjuang dengan diabetes melitus, tetap semangat dan jangan menyerah.!
Comments