[Traveling] Pelajaran Hidup dan Sejarah di Keraton Pakualaman Jogja



Tulisan ini pernah ditulis di twitterku. Karena kemarin males ngeblog, ya udah ditulis di twitter. Nah, biar afdol, tulisan dari twitter gue pindahin ke blog ini. Enjoy it!


Jadi, hari minggu kemarin, aku pergi ke sebuah keraton yang ada di Jogja. sebut saja keraton Pakualaman. Disana dapet banyak ilmu dari abdi dalem keraton.



Ya mungkin keraton ini kurang familiar jika dibandingkan keraton Jogja dan Solo.


Emang keraton ini belum dibuka untuk wisata seperti keraton Jogja. Hanya museum yang digunakan sebagai wisata. sayangnya kemarin hari Minggu tutup.


Meskipun tutup, aku memberanikan diri masuk ke Pakualaman, Sendirian... (((sendirian)))


Disana disambut penjaga sekaligus abdidalem keraton. Kamipun ngobrol sebentar. Sambutan keramahan aku dapatkan ketika berinteraksi dengan beliau. Kebetulan, disana lagi ada kumpul keprajuritan


setelah ngobrol, aku masuk ke lingkungan keraton. Terlihat sebuah meriam menyambutku dengan air mancur dan tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Orang-orang menyebutnya sitihinggil atau tanah yang tinggi


Tanaman hijau dan banyak membuat suasana Siang itu menjadi berkurang. Ada pohon Majapahit, pohon Sawo Kecik dan banyak pohon yang gak ku ketahui namanya


Puas melihat sekelilingku, aku menuju bangunan yang paling besar diantara bangunan yang lain. Terlihat seorang laki-laki paruh baya memakai baju warna biru seperti pakaian yang dikenakan penjaga gerbang keraton


Aku menghampiri beliau dan beliau beranjak dari tempat duduknya. Disinilah obrolan dan pelajaran diberikan kepadaku


Beliau memberikan ilmu sejarah keraton, hubungan Sri Sultan dengan Gusti Pakualam. Beliau juga memberitahu filosofi pada setiap bagian keraton baik benda, ornamen, dan pohon yang ada



"Mbah jaman dulu kalau menanam tanaman gak asal tanam. Gak kaya jaman now. Beli tanaman, langsung tanam. Jaman old, tanaman yang ditanam ada filosofinya." kata beliau sambil tersenyum memandangku


"Misalnya tanaman sawo kecik yang ada di sana. Artinya Sawo kecik, orang harus bertindak becik (baik)" kata si Abdi dalem yang perawakanya seperti mbah Marijan.


"Pas di gerbang sebelah kiri, kan ada cermin besar. Artinya, apakah kita sudah pantas dengan penampilan kita sekarang untuk menghadap Raja?" tambah beliau sambil menunjuk pintu gerbang keraton.


"Sebelum masuk ke keraton, sampeyan melewati gapura besar. Gapura berasal dari bahasa arab, Ghofur, artinya memaafkan."


Saat sedang asik-asiknya bercerita, datanglah mobil Taff dari arah gapura dan menuju ke arah kami berdua. Tiba-tiba, Abdi dalem berubah. Bukan berubah menjadi serigala atau berubah jadi Avatar. Melainkan sikap beliau.


Beliau bersikap tegap layaknya seorang prajurit dengan kedua tangan di depan. Sambil memandangi laki-laki yang masih sibuk memarkirkan mobilnya. Hampir beberapa menit, lelaki dalam mobil tidak keluar


Setelah keluar dari mobil, lelaki tadi masuk ke dalam keraton dan mbah Abdi Dalem kembali menatapku sambil berkata, "Beliau putra kanjeng Paku Alam." Obrolan kamipun berlanjut


Hingga akhirnya beliau bercerita tentang gajinya menjadi abdi dalem. Aku cukup tercengang karena gaji abdi dalem di sini lebih sedikit dari gaji abdi dalem di keraton Solo

"Disini itu niatnya untuk mengabdi. Jika masih memikirkan berapa besarnya nilai, ya gak cocok menjadi abdi mas." kata beliau sambil menatapku yang mulai kepanasan.


Tanpa terasa, obrolan kami semakin kompleks hingga akhirnya beliau menjelaskan cermin kedua yang ada di pintu masuk. Aku juga penasaran, kenapa di setiap keraton pasti ada 2 cermin besar di sebelah kanan dan kiri.


"Setelah masuk keraton dan akan keluar, cobalah menengok ke cermin lagi. Apakah sudah ada perbedaan dengan kita? setelah masuk, mendapatkan ilmu, nasihat dari keraton. Sekarang tinggal kita mengamalkan di luar keraton, di masyarakat." Kata beliau sambil menunjuk gerbang.


Matahari semakin memancarkan panasnya. Tanpa terasa sudah 2 jam kami berdiri dan ngobrol ngalor ngidul. Aku gak tega kalau harus meneruskan obrolan ini. Jika beliau sampe pingsan, bisa bisa aku diarak ke alun alun sama para prajurit yang lagi kumpul di bangsal depan.


"Nggih mpun mbah, matur nuwun ilmune. Ilmune kathah sanget. Kula dados mangertos sakmenika. Kula pamit rumiyin mbah, sampun siang." kataku berpamitan kepada beliau.


"Remember Mas. Ilmu itu divergen atau menyebar. Semakin manusia itu berilmu, maka semakin dia itu enggak ada apa-apanya. Semua yang dia miliki akan terlihat kecil." Kata si Abdi dalem dengan senyumanya yang mebuat orang adhem.


Aku berpamitan dan meninggalkan keraton. Tak lupa aku berpamitan dengan para penjaga gerbang yang sangat ramah. Hari Minggu yant cukuo berkesan. Tak cuman ilmu sejarah yang didapat, tapi ilmu kehidupan yang tidak akan diajarkan di dalam ruang kuliah.


Ada satu fakta yang dapat aku simpulkan. "Orang Jogja ramah-ramah dan halus. Jika di Jogja ada orang kasar, enggak ramah, berarti dia bukan orang Jogja." Udah dulu ceritanya. Mau ngerjain tugas. Minggu depan juga udah uas.

Yogyakarta,  3 Desember 2017

Comments