Perut
udah mulai lapar lagi. Padahal baru dipake jalan sepanjang Malioboro tapi udah
merasa lapar. Ya jelas laper, tadi pagi sarapannya dikit banget. rasa kenyang
yang dihasilkan bukan dari makanan yang dimakan, tapi dari harga yang
ditawarkan, hina banget. Setelah perut temen gue udah enggak memberontak, kami
berdua melanjutkan perjalan. Jam juga udah menunjukan angka 9, Benteng
Vredeburg juga udah buka pastinya.
Selama
duduk–duduk di depan Benteng, gue sempet ngoborol sama tukan becak di sana, Gue
ditawari paket muter-muter keraton, pabrik Dagadu, dan toko Bakpia. Emang
dikira gue orang jauh yang enggak tahu jogja. Gue emang orang jauh, jauh dari
gebetan, sial. Gue cuman ingin menikmati tiap sudut Jogja dengan berjalan kaki.
Namanya juga backpacker masa naik becak.
Karena gagal membujuk kami, akhirnya si
tukang becak frustasi dan meninggalkan gue dengan wajah depresi.
Waktu
udah makin siang, gue dan temen kos buru-buru masuk ke Benteng Vredeburg. Sekitar
benteng juga rame banget, ada banyak mobil polisi, dan mobil pribadi. Padahal
hari ini kan bukan hari libur. Usut punya usut, ternyata hari ini ada lomba
drumband TK se Jogja di Benteng Vredeburg. Gue kira ada Raisa, eh yang ada
malah anak TK, ah sudahlah. Gue segera membeli tiket dan masuk ke benteng.
Ini
pertama kalinya gue masuk ek Benteng Vredeburg. Sebenarnya udah sering banget
sih lihat benteng satu ini dari kendaraan, tapi baru sekarang masuk ke dalam
Benteng. Lebih baik terlambat daripada enggak sama sekali. Hanya dengan 2 ribu
rupiah, gue udah dapet tiket masuk yang ada peta Jogja. Lumayanlah, bisa jadi
petunjuk arah tanpa GPS.
Guepun
segera masuk ke ruang yang ada. Di Benteng Vreburg, gue disuguhi
diorama-diorama perjuangan masa lalu, perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajah. Jadi enggak cuman berjuang melawan mantan aja, tapi perjuangan
melawan penjajah ya. Kalo gue lihat, diorama-dioarama ini seperti yang ada di
Monumen Jogja Kembali (Monjali). Selain diorama, disini juga terdapat
peninggalan-peninggalan masa lalu. Iya peninggalan masa lalu, bukan peninggalan
mantan lho. Terdapat replika senjata, gelas, kursi, jam dinding, sepeda, meja ,
dan barang-barang peninggalan rektor pertama UGM, DR Sarjito, bahkan disini
juga terdapat replika baju pangeran Revolusi yang gugur di Jogja.
*Diorama-diorama masa lalu
*Barang-barang peninggalan masa lalu
Setelah
capek melihat diorama-diorama, gue dan temen istirahat. Terlihat didepan mata
kami tulisan “PEMUTARAN FILM” rasanya pas banget deh, badan capek, saatnya
istirahat sambil nonton bioskop. Gue masuk ke ruang FILM, dan viola.. ternyata
mini bioskop dengan LCD proyektor. Kami
berisitirahat sambil menikmati film sejarah. Tapi sayang, disini enggak ada
yang nonton, cuman ada bapak-bapak yang tidur. Gue yakin, kalo bapak-bapak yang
disini enggak nonton film yang diputer, tapi cuman istirahat sambil nungguin
anaknya Drum band. Enggak lama kemudian, bapak-bapak yang (seperti) nonton Film
keluar ruangan. Tinggal gue, temen kos, dan bapak-bapak operator. Bioskop
serasa milik kami bertiga, dan gue menikmati film yang diputer.
*berasa bioskop pribadi
Banyak benget
ilmu yang gue dapatkan dari film ini. ya seperti inilah intisari dari
traveling. Enggak cuman capek aja yang didapet, tapi ilmu pengetahuan juga.
Belajar kan enggak harus dari buku, tapi dari sekitar kita.
Selesai
menonton, FILM, gue dan temen melanjutkan perjalanan lagi. Enggak lupa, gue
foto-foto dulu. Enggak afdol kalo enggak foto. Ada pepatah, No Pic= Hoax. Ya
ini beberapa foto yang berhasil gue abadikan.
Gue
melanjutkan perjalanan menuju Keraton Jogja. Tapi, sebelumnya, gue berhenti dii
titik Nol Jogja. Gu baru tahu kalo perempatan depan depan Bank BNI adalah titik
nol Jogja, sumpah Hina banget kan. Gue enggak lupa foto-foto di titik nol Jogja
ini. Udara juga semakin panas, menunjukan kalau hari semakin siang. Gue
melanjutkan perjalanan menujur alun-alun Jogja. (To be
continued)