Kado Terindah [part 2]




Waktu serasa berjalan lambat. Detik berganti detik, dan menitpun silih berganti. Hatiku semakin tidak karuan menahan kesedihan ini. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku perbuat. Kepada siapa lagi aku harus menuangkan perasaan sedih ini. Setiap aku sedih, pasti aku selalu menelpon Dodhy. Menangis ditelpon dan Dodhi selalu menghiburku.

Aku terus menunggu balasan SMS dari Dodhy. Sudah tigapuluh menit aku menunggu balasan dari dia. Mungkinkah dia masih marah kepadaku? Akupun menghempaskan badanku di atas tempat tidur. Aku sudah tidak sabar menunggu suara berat Dodhy. Rasa sabarku mulai berkurang. Jantungku berdetak kencang menahan gejolak  di dada.  Akupun mulai menekan tombol “call” di hape.


“Hallo… lagi apa A’?” kataku pelan sambil menahan kesedihan.
“Hai.. ada apa? Aku lagi makan. Entar aku telpon balik .“

[tut…tut..tut…]

Samar-samar suara Dodhi menghilang ditelan malam. Entah kenapa perasaanku sedih ketika ingat Ryan? Kerja keras dan perjuangan Ryan  semakin membuat dadaku sesak. Dada terasa tercabik-cabik. Ingin aku luapkan kesedihanku ini kepada Dodhi. Meski hatiku mulai sayang dengan Ryan. Aku tidak terbiasa berbagi kesedihan kepada Ryan. Aku tidak ingin Ryan semakin terbebani. Semenjak kegagalannya beberapa minggu lalu, ingin hati menemani dia selalu. Inginku bersanding dipundaknya sambil mengatakan, “Semangat ya… mungkin ini salah satu jalan menuju bahagia.”

[drrrrr….drrrrr…drrrrr…]

Suara getaran hapeku membuyarkan lamunanku lagi. Kuambil langkah kecilku. Perlahan-lahan, kubergerak mendekati hape yang masih menari-nari di atas meja belajarku. Berharap telpon dari Ryan. Sudah beberapa jam ini aku tidak berkomunikasi dengan dia. Aku khawatir dengan Ryan. Ku anggat telpon yang masuk tanpa melihat sipa nama yang tertulis di layar.

“Hallo… lagi apa?”

Aku cuman diam. Aneh, ini bukan suara Ryan. Aku hafal dengan kebiasaan telpon seperti ini. Kebiasaan Dodhi, iya, kebiasaan Dodhi tiap telpon. Gaya yang santai, dan ceria seperti biasa. Meski hatinya terluka karenaku tapi dia tetap mencoba tersenyum dihadapan semua orang.

“Aku lagi sedih. Kepikiran Ryan.” Tanpa basa-basi aku menumpahkan gejolak hati yang tidak bisa aku ungkapkan pada Ryan.
“Besuk aku mau ke Jakarta. Ada yang harus aku selesaikan sama kamu.”
“Hah… ngapain!” kataku terkejut. 

Tak mungkin Dodhi ,pergi ke Jakarta untuk menemuiku. Dia aja tidak pernah ke rumahku. Pasti hanya bercanda atau cuman menggertak. Seminggu lalu saja dia juga bilang tidak akan pernah menghubungiku lagi. Tapi kenyataannya sampe sekarang dia masih mengirim sms, meski tak pernah satupun yang ku balas. Aku tak ingin menyakiti hati Ryan. Ryan pasti akan terluka kalau tahu aku masih berhubungan dengan Dodhy.

“Beneran, tunggu aku di Jakarta. Aku cuman ingin bertemu kamu untuk yang terakhir kali.”
“Enggak usah!!! Ngapaen??? Aku udah terlanjur sayang sama Ryan!!!”
“Apa!!!”
“Iya… aku udah sayang banget sama Ryan. Udah beberapa minggu ini aku selalu dengan dia. Bahkan dia sudah tiga kali main ke rumahku. Akhir pekan lalu, dia juga main ke kosku. Perasaanku kepadanya kini sudah berubah menjadi rasa sayang. Aku juga bingung kenapa ini bisa terjadi.”

Hanya sunyi yang terasa. Dodhy seperti lebih memilih menutup mulut rapat-rapat. Entah dia shock atau apa. Akupun terus menceritakan Ryan… Ryan… dan Ryan. Semua gejolak yang kupendam terlepas dengan indah mengalun layaknya syair-syair jangkrik yang menghiasi malam. Kata-kata yang mengalun masuk ke telingan Dodhy. Entah setan apa yang merasuki diriku sampai aku menceritakan laki-laki lain dihadapan orang yang masih sayang denganku. Aku bahkan tidak memikirkan  apa yang dirasakan Dodhy saat ini. Ah… masa bodoh yang penting aku ingin menemani Ryan sampai dia tersenyum kembali.

“Udah puas kamu sekarang?” suara Dodhy mulai muncul dibalik microfon.
“Emang kamu udah enggak sayang lagi sama aku? Terus apa artinya empat tahun ini bareng kamu? Hanya sebagai PELAMPIASAN CINTAMU?”
“Tapi… sekarang aku udah sayang sama Ryan. Perasaanku ke kamu sekarang ini udah berubah, enggak seperti dulu lagi. Aku enggak mau ninggalin  Ryan. Aku enggak mau kehilangan dia lagi.”
“Okke.. jika itu mau kamu, sampe ketemu di Jakarta besuk!”

[Tut…tut…tut…]

Entah hatiku semakin membara ketika bercerita tentang Ryan. Malam ini aku puas sekali. Aku sudah tidak sabar bias menghabiskan malam dengan Ryan, meski hanya sebatas lewat pesan singkat.

Akupun memulai percakapan degan Ryan seperti malam yang sudah-sudah. Tidak biasanya aku mau memulai SMS terlebih dahulu kecuali dengan Dodhy. Tapi sayang, perasaanku kepadanya sudah berpindah ke hati Ryan.

Keesokan harinya…
Matahari telah menampakan senyumnya. Semilir angin sama-samar membelai wajahku. Aktivitas di depan kospun telah ramai akan mahasiswa yang akan pergi ke kampus. Ikan koi bercumbu mesra di kolam membuatku iri. Akupun menghempaskan tubuhku di tas sofa yang tak jauh dengan kolam ikan. Teras yang lumayan besar untuk ukuran ruang kunjungan tamu. Disinilah Ryan selalu menemuiku tiap akhir pekan. Yang dia lakukan ketika pertama datang ke sini pasti selalu push up. Sungguh lucu, tapi cukup membuatku tersenyum.

Hari ini tidak ada kuliah pagi.  Ya seperti inilah nasib mahasiswa yang sudah hampir mendekati akhir.  Hanya dapat jatah kuliah sore, jam 3 sore. Akupun tidak lupa mengucapkan selamat pagi kepada Ryan. Hanya sekedar ingin tahu apa yang sedang dilakukan dia sekarang.

[drrr…drrrrr…drrrr]

Hapeku bergetar, tanda ada sebuah pesan masuk. Pasti dari Dodhy. Seperti biasanya dia hanya mengirimkan SMS TAK PENTINGnya. Pasti kalau tidak, MET PAGI, KULIAH yg BENER, JANGAN LUPA MAEM, MET ISTIRAHAT. Akupun sampai hafal dengan smsnya. Biarpun dia mengirimkan sms sampe operatot bangkrut, tidak akan merubah perasaanku kepadanya. Aku sudah tergila-gila dengan Ryan. 

From : AA’ Dodhy
Aku lagi OTW ke tempatmu. 2-3 jam sampe Jakarta. Wait for me: )

Aku hanya terdiam melihat layar hapeku. SMS dari Dodhy?  Apa dia benar-benar serius. Kalu Ryan sampai tahu pasti bakal sakit hati. Akupun langsung menelpon Dodhy. Tidak seperti biasanya. Kenapa dia nekad mau menemuiku jauh-jauh?

[Tut….]

“Hallo… ada apa?” suara Dodhy terdengar.
“Ngapaen kamu? Pulang aja! Aku ada kuliah dari pagi sampai sore.”  Kataku berbohong kepada Dodhy.
“Aku udah di Jalan ini, sejam lagi nyampe Jakarta. Aku baru pertama kalinya pergi ke Jakarta. Aku enggak tahu turun dimana dan naik apa biar sampe di tempatmu.”
“Kamu turun di Jatinegara saja, nama kosku NTR.” Kataku tidak tega.
“Oke… tunggu aku ya…”
“…”

Akupun semakin bingung. Tiba-tiba perasaanku menjadi gelisah. Aku tidak tega kepada Dodhy. 

Dua jam kemudian…

Jam dinding kamarku berdetak seperti menertawakanku. Matahari serasa sudah berada di atas atap kos. Udara panas seperti biasanya menghiasi hari Rabuku ini. Tidak ada kegiatan, hanya tiduran, memandangi langit-langit dan melukis wajah Ryan dilangit-langit kamarku.  Jam segini pasti Ryan masih bekerja. Aku tidak mau mengganggunya. Sampe sekarang Dodhy juga belum menampakan wajahnya. Apakah dia tersesat? Ataukah tiba-tiba ditengah jalan dia dihadang oleh perampok? Hanya imajinasiku saja.

[Tit..tit…tit..]

Suara hpku mengisyaratkan ada pesan masuk.

From: Aa’ Dodhy
Aku udah di depan kosmu..

Hah… kenapa dia sudah sampe disini? Bagaimanakah dia sampe di sini? Ah… tidak penting, akupun cepat-cepat mengambil langkah kecilku keluar dari kamar.  Kakiku bergerak dengan sendirinya menuju pintu gerbang. Perlahan-lahan aku geser pintu pagar bewarna hitam didepanku.  

Tiba-tiba terlihat sesosok pemuda dengan pakaian serba hitam, topi hitam dan masker. Dia memang benar-benar Dodhy. Dia benar-benar dateng ke kosku. Dodhy yang udah nemenin  aku 4 tahun ini.  Dodhy yang aku lukai hatinya. Entah mimpi apa aku tadi malam. Akupun segera menyuruh Dodhy masuk dan duduk di teras.

Akupun duduk duduk di sofa pojok, dan Dodhy memilih duduk di sofa yang jauh dariku. Dia memilih duduk di dekat kolam ikan dihiasi teriknya matahari. Entah kenapa kami duduk berjauhan. Tiap kita bertemu pasti duduk merapat tak terpisahkan. Ibarat burung dan sayapnya.  

Suasanapun menjadi beku. Kami hanya saling diam satu sama lain. Hanya pandangan mata kami yang mengisyaratkan kata-kata yang tidak bisa terucap oleh mulut.

“Kamu udah pulang kuliah?” Dodhy memulai pembicaraan, memecahkan keheningan.
“Entar sore, jam 3 kok. Lha kamu kok enggak kuliah?” balasku sambil memegang gantungan kunci hati pemberian Dodhy dulu.
“Alhamdulilah, kayaknya kamu lagi seneng.”
“Apa sih… udah maem dulu di gerbang depan. Aku gak punya makanan. Jajan aja yuh.”

Akupun mengajak Dodhy pergi makan siang. Aku tahu, dari tadi Dodhy belum makan. Dia sudah datang jauh-jauh dari Bandung cuman buat ketemu aku. Akupun mengajaknya minum. Dia menolak makan besar bersamaku. Dia bilang kalau dia sudah kenyang, kenyang karena udah makan hati. Akupun mentraktir minuman dari pohon yang menjadi cikal pramuka, kelapa. Kamipun duduk berseberangan layaknya majikan dan orang tidak dikenal. Berbeda sekali dengan dulu. Kami pasti duduk bersebelahan seperti manten yang sedang dipersandingkan di pelaminan. Tapi itu sudah masa lalu, hatiku sudah berubah terhadap Dodhy.

Selesai menikmati semangkuk  es kelapa, akupun mengajak Dodhy kembali ke kosku. Aku ingin tahu apa maksud kedatangannya ke tempatku. Masih ada waktu sejam sampe perkuliahan dimulai. 

Akupun duduk  di sofa tadi. Posisi kamipun tidak berubah. Kami duduk berjauhan layaknya orang menjaga jarak. Lalu lalang penghuni kos yang sudah pulang dari perkuliahan cukup menggangguku. Dalam batin mereka pasti bilang, tiap hari kok cowoknya gonta-ganti terus? Ah… masa bodoh.

“Ada yang ingin kamu omongin? Mumpung aku masih disini.” Dodhy memulai pembicaraan.
“Udah semalam kan..”
“Jadi kamu serius sayang sama Ryan?” tambah Dodhy.
“Iya.. aku sayang banget sama Ryan. Tapi aku belum bisa memberi jawaban atas perasaannya. Dia sudah mengungkapkan perasaanya kepadaku.” Kataku sambil tersenyum.
“Oke… aku udah ikhlas kok. Aku juga sudah melihat senyum dari wajahmu. Matamu sekarang tidak kosong lagi. Jika kamu udah memilih seperti ini, aku mundur saja. Percuma aku memaksa kamu suka denganku jika hatimu sudah diisi olehnya. Percuma empat tahun kita lalui dengan pengkhianatan kayak gini.” Dodhy meluapkan emosinya meski dengan ekspresi datar.

“Aku juga tidak tahu kalau akhirnya bakal seperti ini. Ku harap kamu mengerti.” Akupun membalas kata-kata Dodhy sambil pura-pura melihat jam tangan. Berharap Dodhy sadar dan segera pulang.
Melihat tingkahku yang sudah tidak nyaman, Dodhy mengerti. Diapun berdiri dari tempat duduknya.  Sambil berpamitan. Akupun dengan semangat mengantarnya ke pintu gerbang kos. Berharap Dodhy segera cepat pulang. Aku sudah bosan melihat tampangnya.

“Oke.. aku pulang dulu. Aku enggak tahu besuk kita bisa bertemu lagi atau tidak.”
“Aku datang kesini cuman mau memastikan dengan mataku sendiri dan juga mau ngasih kamu ini.” Dodhy mengeluarkan sebuah bungkusan bewarna merah dari dalam tasnya.
“Apa ini emang?” kataku penasaran.

“Kamu bisa buka 4 hari lagi di malam hari atau setelah kamu beribadah malam, selamat ualang tahun. Maaf terlalu cepat ngasih kado buat kamu, tapi cuman ini yang bisa aku kasih ke kamu.” Kata Dodhy sambil menutup tas hitamnya.

Aku hanya terdiam. Teringat, empat hari lagi aku akan  berulang tahun. Dan aku melupakan  sebuah moment. Dua hari sebelum hari ulang tahunku adalah hari ulang tahun Dodhy. Oh.. Tuhan, kenapa aku bisa lupa. Apakah aku terlalu keasikan masuk ke dalam dunia Ryan. Mulutku tidak bisa berkata apa-apa. Mataku hampir meneteskan air mata. Sesak di dada mulai terasa. Akupun semakin tidak karuan. Dada terasa tercabik oleh senjataku sendiri.

“Wasalammualaikum.” Hanya kata itu yang terucap dari mulutku. Kata-kata yang pas untuk mengusir Dodhy. Kata-kata yang bisa memerintah Dodhy segera pergi dari kosku.

Dodhypun paham kode yang telah kuberikan. Dia perlahan-lahan pergi meninggalkanku.  Samar-samar bayang hitam menjauh dan hilang ditelan keramaian jalan raya. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan terimakasih dan permintaan maafku kepada Dodhy. Aku bahkan tidak sempat memberikan kado untuk Dodhy seperti yang sudah-sudah. Tapi, aku hanya bisa memberikan kado terindahku dengan Ryan kepadanya.
[Tamat]


Yap. Seperti itulah cerita yang bisa gue buat. Sakit kan? Nyesek kan? Apapun alasanya main tikung itu ya tetep main tikung. Laki-laki yang baik dan berjiwa besar pasti gentle men. Enggak main dari belakang, apalagi nusuk temen, ngerebut hati orang. Merusak hubungan orang. Yap… pasti banyak realita-realita yang terjadi disekitar kita.  Ditinggal pergi tanpa alasan itu sudah biasa, bertepuk sebelah tangan juga banyak. 

Sebagai orang yang punya agama jangan munafik lah. Jika diberi kepercayaan orang enggak usah berkhianat, jika berkata enggak usah nista. Sebagai orang yang berjiwa besar dan jujur, enggak usah main tikung, enggak usah main rebut pasangan orang. 

Gue sendiri enggak pernah dan enggak akan pernah main rebut pasangan orang. Iya, soalnya jika gue ngerebut pasangan orang, maka suatu hari gue juga harus siap jika pasangan kita direbut orang lain. Kalo kayak gitu ya solusunya mundur, maafkan, tersenyum dan tetap semangat. ‘

Cowok sejati enggak pernah ngerebut punya orang, cowok sejati enggak pernah main kotor, apalagi sampe ngedeketin orang yang jelas-jelas temennya sendiri.
Oke. Gue kira cukup ini postingan dari gue. Maaf, kemarin sempat tertunda ngelanjutin ceritanya. Lagi sibuk soalnya. Makasih udah baca.
Comments